Minggu, 09 Agustus 2009

Ejakulasi dini opini publik dan hilangnya pesona demokrasi

“Tidak pernah seorang pun yang berkuasa di atas bumi ini mendasarkan kekuasaannya secara murni di atas sesuatu selain di atas opini publik”, demikian dikatakan Jose Ortega y Gasset dalam The Revolt of the Masses (judul asli La Rebelion de las Masas) yang ditulisnya pada tahun 1930 dalam bahasa Spanyol. Lanjut Ortega: “Dalam fisikanya Newton gravitasi adalah kekuatan yang melahirkan gerak. Dan dalam sejarah perpolitikan, hukum opini publik itu adalah hukum gravitasi universal”.[1]

Kira-kira 14 tahun sebelum Ortega menulis The Revolt of the Masses , Presiden Amerika Serikat Wodrow Wilson membentuk Creel Commission, sebuah komisi propaganda resmi pemerintah. Saat itu Perang Dunia I sedang berkecamuk di Eropa dan rakyat AS saat itu merasa tidak perlu terlibat dalam “Perang Eropa” itu dan cenderung menjadi anti-perang. Kenyataan yang terjadi adalah, setelah Creel Commission itu bekerja selama 6 bulan mereka berhasil mengubah populasi anti-perang (rakyat AS waktu itu) menjadi massa yang histeris dan haus perang yang bernafsu untuk menghancurkan semua yang berbau Jerman.[2]

Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian adagium ini sering dikumandangkan ketika orang bicara demokrasi. Tetapi bagi Joseph Schumpeter dan Robert Dahl, demokrasi bukan-lah demos-kratos, rakyat berdaulat. Demokrasi adalah prosedur untuk memilih (atau tidak memilih lagi) calon-calon yang akan duduk menjalankan pemerintahan. Inilah demokrasi prosedural atau yang dinamakan oleh Robert Dahl sebagai poliarki. Demokrasi Poliarki inilah yang menjadi agenda utama kebijakan luar negeri AS seiring dengan semakin merebaknya paham ekonomi neoliberalisme. William I. Robinson menyebut proyek demokrasi ini sebagai Promosi Demokrasi (Promoting Democracy). William I. Robinson juga memaknai Poliarki sebagai berikut: ”When transnational elites talk about ”democracy promotion”, what they really mean is the promotion of polyarchy….the term to refer to a system in which a small group actually rules, and mass participation in decision making a confined to choosing leaders in elections that are carefully managed by competing elites. This of course, is the the system in place in the United States”.[3]

Dengan berbagai hal di atas maka dapat dilihat bahwa sebenarnya tiga pemilihan umum yang terselenggara selama era reformasi ini pada dasarnya adalah periode transisi bagi diterapkannya demokrasi poliarki di Indonesia. Karena gravitasi perpolitikan itu adalah opini publik seperti yang diunkapkan oleh Jose Ortega y Gasset seperti dikutip di atas maka tetap saja hal terkait dengan manajemen opini publik ini tetap dalam posisi sentral.

Output akhir dari desain besar ini adalah kekuasaan tetap di tangan elit, yang dalam hal ini adalah elit yang siap sedia bekerja sama dengan kepentingan-kepentingan global, terlebih dengan Amerika dan sekutu-sekutunya, terlebih adalah perusahaan-perusahaan transnasional, big business. Bekerja sama di sini harus dipandang sebagai ada pihak yang melayani dan yang dilayani, bukan dalam arti kerjasama yang setara sebagai sama-sama bangsa merdeka. Artinya adalah peta geopolitik internasional itu adalah tetap tidak berubah.

Di masa Orde Baru opini publik dibuat gugur sebelum dilahirkan dengan adanya represi yang sistematis. Dengan isu demokrasi sekarang ini, represi untuk mengendalikan kekuatan opini publik sudah tidak bisa digunakan lagi. Lalu dengan apa?

Di sinilah mengapa dalam awal tulisan ini Creel Commission disebut, yaitu sebagai ilustrasi dari lahirnya apa yang disebut sekarang sebagai konsultan-konsulan politik di Indonesia ini. Salah satu kegiatan dari konsultan politik itu adalah melakukan survei-survei politik, terlebih terkait dengan akan diadakannya pemilihan umum.

Apa yang terjadi ketika hasil survei politik dipublikasikan? Salah satu yang dibidik adalah mekanisme ”gerombolan”, ”anut-grubyuk” dari massa / rakyat atau yang sering disebut sebagai bandwagon effect.

Kalau diamati lebih jauh dengan prinsip seperti yang diungkapkan oleh Jose Ortega y Gasset di atas, maka bandwagon effect ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai efek sekunder saja. Apa efek primer-nya? Yang utama adalah apa yang disebut sebagai opini publik itu telah mengalami ejakulasi dini! Artinya adalah ketika publik yang sebenarnya adalah terdiri dari individu-individu kongkret itu mempunyai suatu pendapat, suatu opini tertentu, pada hakekatnya itu adalah suatu resultante dari pendapat-pendapat pribadi yang dikomunikasikan, yang didiskusikan, yang diobrolkan secara horisontal oleh individu-individu yang ada menyusun masyarakat itu.

Opini publik adalah merupakan konstruksi, merupakan eksternalisasi dari denyut individu-individu yang saling berinteraksi dalam suatu masyarakat. Tetapi sebelum proses eksternalisasi itu menghasilkan obyektivikasi bersama, petugas survei telah mendatangi individu-individu untuk ditanyai, untuk disurvei, yang jawabannya adalah rahasia, individu lain tidak boleh tahu dan itu dijamin oleh petugas survei terkait dengan jawaban yang diberikan.

Kemudian hasilnya dipublikasikan sebagai opini publik. Itulah yang terjadi, ketika make love dalam kerangka perjalanan orgasme publik, tiba-tiba ketika rakyat sedang asyik fore-play, katakanlah seorang Deny JA datang dan memaksa untuk segera di-ejakulasi-kan tanpa berlama-lama menikmati proses fore-play. Akhirnya, opini publik yang ada sebagai hasil survei itu adalah opini publik tanpa orgasmus, opini publik yang mana rakyat tidak mampu mendorongnya sebagai kekuatan dengan daya desak. Inilah efek primer dari survei politik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei atau konsultan-konsultan politik itu, bukan bandwagon effect seperti yang diyakini selama ini.

Hal ini tidak jauh dari apa yang sudah dikatakan oleh Noam Chomsky, ”…selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah”.[4]

Atau dalam kata lain, survei-survei politik itu ketika dia dipublikasikan masuk ke ruang publik maka sangat besar kemungkinannya dia sedang melakukan kudeta terhadap bangun opini publik yang sedang dalam proses terbangun.

Benteng utama pertahanan terhadap penyelenggaraan survei-survei ini adalah ke-ilmiah-annya. Apa bedanya dengan era Soeharto dengan kediktaktoran fisiknya? Beda tetapi sama dalam sifat kediktaktorannya, yaitu sekarang perlahan hal yang ilmiah itu semakin nampak berperilaku sebagai layaknya seorang diktator. Semua harus tunduk dan menerima ketika klaim ilmiah diajukan.

Ada tulisan menarik di Kompas, Jum’at 31 Juli 2009 tentang pemakaian pakaian renang yang didesain dan dibuat dengan teknologi canggih. Ketika Speedo meluncurkan pakaian renang LZR pada bulan Februari 2008, pakaian yang meniru struktur mikro dari kulit ikan hiu itu dapat memangkas waktu tempuh lomba 1,9 sampai 2,2 persen. Sejak diluncurkan hingga 14 Agustus 2008, 62 rekor dunia dipecahkan pemenang pemakai LZR. Total ada 105 rekor dunia yang pecah sepanjang 2008 dan sebanyak 79 rekor dunia diantaranya dipecahkan atlet pemakai LZR. Produsen pakaian renang lain tak mau kalah. Jaked dan Arena, misalnya, tidak mau kalah dari Speedo. Mereka membuat produk lebih canggih berbahan 100 persen polyurethane. Hasilnya, rekor dunia terus bertumbangan.[5]

Di ujung tulisan, Kompas memberikan catatan menarik, ”….lewat jorjoran teknologi atau jorjoran anggaran membuat olahraga seperti kehilangan relevansinya. Kehilangan pesonanya”.

Demikian juga pemilihan umum 2009 ini. Di luar carut marut penyelenggaraan pemilihan umum, hadirnya klaim-klaim yang serba ilmiah dalam survei-survei politik maupun quick count ternyata tidak bisa menghentikan naiknya angka golput pada pemilihan umum 2009 ini. Demokrasi seakan semakin kehilangan pesonanya di mata rakyat.

Tapi di satu pihak, demokrasi yang seperti ini justru menjadi semakin mempesona bagi segelintir orang, bagi kaum oligarki, pemburu rente serta kepentingan-kepentingan kapitalis internasional dan para kompradornya. Mengapa? Sekali lagi mereka dapat melanggengkan kerakusannya, melanggengkan gerak pengerukan kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan mereka dan komplotannya sendiri. Tanpa pernah sekalipun terserang ejakulasi dini. Selalu orgasmus.***

(Greg, KNPK, 31 Juli 2009)

[1] Jose Ortega y Gasset, Pemberontakan Massa, Bodhidarma Pustaka, 2006

[2] Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, PINUS Book, 2006, cet-2

[3] William I. Robinson, Promotion Polyarchy in Latin America: The Oxymoron of “Market Democracy”, in Eric Hersberg & Fred Rosen, Latin America After Neo-Liberalisme, New York; The New Press, 2006

[4] Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, PINUS Book, 2006, cet-2

[5] Gugatan Besar Dari Kolam Renang, Kompas, 31 Juli 2009, hal 33
selengkapnya......